Jaksa Menyapa
Pilihan Redaksi

8 Perbedaan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana, begitulah yang disampaikan Sunaryo dan Ajen Dianawati dalam buku Tanya Jawab Seputar Hukum Acara Pidana (hal.10).

Andi Sofyandan Abd. Asis dalam buku Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar (hal. 14-16) menerangkan, dalam hukum acara pidana dikenal asas-asas, di antaranya yaitu:

  1. Asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Artinya, setiap orang diperlakukan sama dengan tidak membedakan tingkat sosial, golongan, agama, warna kulit, kaya, miskin, dan lain-lain, di muka pengadilan.
  2. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
  3. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
  4. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah berkekuatan hukum tetap.

Hukum Acara Perdata

Bambang Sugeng dan Sujayadi dalam buku Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi Perkara Perdata (hal. 8) mendefinisikan hukum acara perdata sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim (pengadilan).

Sumber hukum acara perdata tersebar dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, di antaranya yaitu (hal. 2-3):

  1. Her Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”) atau Reglemen Indonesia Diperbarui, S. 1848 No. 16 jo. S. 1941 No.44. Peraturan ini khusus untuk daerah Jawa dan Madura;
  2. Rechtsreglement Buitengewesten (“RBg”) atau Reglement Daerah Seberang, S. 1927 No. 227. Peraturan ini untuk daerah luar Jawa dan Madura;
  3. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (“Rv”) 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 63. Peraturan ini sebenarnya berlaku untuk pengadilan Raad van Justitie yang dikhususkan bagi golongan Eropa, sehingga saat ini sebenarnya sudah tidak berlaku lagi. Namun, dalam beberapa hal tetap dijadikan pedoman dalam praktik apabila ketentuan dalam HIR/RBg tidak mengatur;
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)/Burgerlijk Wetboek (BW) Buku IV tentang Pembuktian dan Kedaluwarsa;
  5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum beserta perubahannya;
  6. Yurisprudensi tentang hukum acara perdata; dan
  7. Doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana.

Adapun asas hukum acara perdata ialah sebagai berikut (hal. 3-7):

  1. Hakim bersifat menunggu

Artinya, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak keperdataan diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Untuk itu, berlaku adagium “judex ne procedat ex officio”, yang berarti apabila tidak ada gugatan, maka di situ tidak ada hakim.

Jadi, yang mengajukan gugatan adalah pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya. Namun, sekali perkara diajukan kepada hakim, maka hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas.

Referensi : https://www.hukumonline.com/klinik/a/8-perbedaan-hukum-acara-pidana-dan-hukum-acara-perdata-lt61822de00a2b8

The post 8 Perbedaan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata appeared first on Kejaksaan TInggi Sulawesi Utara.

Sumber : Kejati Sulut

Related posts

Jaksa Agung: Penanganan Perkara Harus Dilaksanakan Secara Efektif, Efisien dan Berkemanfaatan

Redaksi Sulut

KAJATI SULUT SILATURAHMI KANWIL KEMENKUMHAM SULUT

Redaksi Sulut

Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Sila Pulungan menghadiri acara Selebrasi Paskah & HUT Pemuda GMIM ke 95 Tahun 2023

Redaksi Sulut