Jaksa Menyapa
Berita Kejati Jatim

KAJATI JATIM RESMIKAN BALAI REHABILITASI NAPZA ADHYAKSA AYEM TENTREM TULUNGAGUNG

SIARAN PERS
Nomor: PR – 25 / M.5/Kph.4/10/2022
KAJATI JATIM RESMIKAN BALAI REHABILITASI NAPZA ADHYAKSA AYEM TENTREM TULUNGAGUNG

Pada hari Rabu tanggal 23 Nopember 2022 sekira pukul 11.00 Wib bertempat di RSUD. ISKAK Tulungagung, Kajati Jatim Dr. Mia Amiati dengan di dampingi oleh Asisten Pembinaan, Asisten Intelijen, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, Asisten Pengawasan, Asisten Pidana Militer, Kajari Tulungagung dan Bupati Tulungagung serta Forpimda Kab. Tulungagung meresmikan Balai Rehabiltasi Napza Adhyaksa Tentrem Tulungagung di RSUD. Iskak Tulungagung.


Dalam sambutan peresmian Kajati menyampaikan bahwa saat ini seluruh negara dan masyarakat internasional masih menghadapi musuh bersama (commnon enemy), yaitu penyalahgunaan serta peredaran gelap narkotika. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dalam laporan terbarunya yang dirilis pada tanggal 24 Juni 2021 menyebutkan sekitar 275 juta orang di seluruh dunia menggunakan narkoba pada tahun 2020. Antara tahun 2010-2019, jumlah orang yang menggunakan narkoba meningkat sebesar 2%. Sementara secara global, jumlah pengguna narkoba diperkirakan akan meningkat 11% sampai tahun 2030.
Penyalahgunaan dan peredaran narkotika di Indonesia telah menjadi masalah serius dan memprihatinkan. Narkotika merupakan bentuk ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius dan mendesak. Tantangan kian berat manakala masih banyak mitos dan informasi keliru tentang narkotika. Ditambah lagi kondisi wilayah Indonesia yang berpotensi menjadi sasaran daya tarik para pengedar narkotika.
Berdasarkan hasil survei Badan Narkotika Nasional (BNN), pada tahun 2019 prevalensi pengguna narkoba di Indonesia sebesar 1,80% atau 3,41 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2021 sebesar 1,95% atau 3,66 juta jiwa, artinya terjadi peningkatan sebesar 0,15%. Penyalahgunaan narkoba seperti halnya fenomena gunung es. Ini berarti jumlah penyalahguna yang nampak di permukaan lebih kecil dibanding dengan yang tersembunyi. WHO mencatat kasus yang tersembunyi di masyarakat yaitu kasus yang termasuk dark number jumlahnya sepuluh kali lebih banyak daripada kasus yang tampak di permukaan.
Penyalahgunaan narkoba pada masa pandemi Covid-19 justru meningkat. Orang yang stress akibat pandemi karena kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian akan dimanfaatkan oleh para pengedar narkoba untuk ikut terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba. Di Kabupaten Tulungagung sendiri, data penanganan perkara tindak pidana narkoba selalu menonjol dibandingkan tindak pidana yang lain. Pada tahun 2020, jumlah SPDP yang diterima sebanyak 140 perkara, P-21 sebanyak 135 perkara, dan tahap II sebanyak 131 perkara. Pada tahun 2021, jumlah SPDP yang diterima sebanyak 135 perkara, P-21 sebanyak 128 perkara, dan tahap II sebanyak 118 perkara, dan sampai bulan September 2022 jumlah SPDP yang diterima sebanyak 81 perkara, P-21 sebanyak 70 perkara, dan tahap II sebanyak 59 perkara.
Salah satu permasalahan penanggulangan narkoba yang masih dihadapi Indonesia saat ini adalah dilema penegakan hukum terhadap penyalahguna narkoba, yang mana pelakunya adalah korban. Banyak penyalahguna yang sejatinya merupakan korban (victim) dipenjarakan. Di satu sisi, hal ini tentunya menyebabkan penjara menjadi penuh (over capacity) yang didominasi oleh pelaku penyalahguna narkoba. Menurut data, jumlah penghuni lapas mengalami overcrowded,
dengan 50% atau sekitar 250.000 merupakan pelaku tindak pidana narkoba. Di sisi yang lain, penyalahguna yang merupakan korban sejatinya memerlukan penanganan fisik dan mental sebagai dampak buruk narkoba atau rehabilitasi. Penahanan penyalahguna narkoba akan menambah daftar panjang penghuni lapas jika sistem rehabilitasi belum dilaksanakan dalam penanganan perkara penyalahgunaan narkoba.
Isu overcrowding ini telah menjadi
perhatian serius masyarakat dan pemerintah sebagaimana yang dituangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif.
Oleh karenanya dibutuhkan kebijakan penegakan hukum yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang penuntutan tersebut dilakukan melalui optimalisasi lembaga rehabilitasi. Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan azas dominus litis dapat menyelesaikan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan. Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif, dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid), serta mempertimbangkan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, azas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), cost and benefit analysis, dan pemulihan pelaku.
Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan keadilan restoratif, menjadi bagian dari komitmen dan ijtihad Kejaksaan dalam rangka memanusiakan manusia, khususnya bagi penyalahguna narkotika, untuk menjadi manusia yang lahir kembali, sehat jasmani dan rohani, menjadi warga negara Indonesia yang bermartabat.
Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi di Negara Republik Indonesia, telah menerbitkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Azas Dominus Litis Jaksa.
Timbul pertanyaan, apakah semua perkara narkotika dapat dihe ntikan penuntutannya dengan menerapkan keadilan restoratif? Jawabannya tentu tidak, dalam penanganan perkara narkotika, setelah JPU menerima tahap ii, tim jpu melakukan profiling terhadap tersangka, harus diteliti secara administratif dimamana tempat tinggal tersangka agar bisa diketahui keseharian perilaku tersangka, apa pekerjaan tersangka dan bagaimana kehidupan keluarganya, apakah dalam kategori tidak mampu, kemudian jaksa selaku fasilitator mendatangi keluarga tersangka dan melihat secara langsung kehidupan keseharian tersangka, termasuk mewawancarai orang tua dan anggota keluarga tersangka; perangkat desa (sekretaris desa); Ketua RT (rukun tetangga); tokoh agama maupun tokoh masyrakat.
Jika hasil wawancara yang telah dilakukan oleh jaksa penuntut umum terhadap orang tua tersangaka, perangkat desa, Ketua RT; tokoh agama maupun tokoh masyrakat, tersangka memiliki perilaku yang baik dalam masyarakat dan tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, maka dapat diajukan untuk dihentikan penuntutannya dengan menerapkan keadilan restoratif,
Disamping itu, alasan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative harus memenuhi syarat sbb :
1. Tersangka hanya sebagai penyalahguna narkoba untuk diri sendiri.
2. Tersangka ada ketergantungan untuk pemakaian narkoba.
3. Tersangka tidak berperan sebagai produsen, bandar, pengedar, dan kurir terkait jaringan gelap narkotika
4. Tersangka bukan resdivis kasus narkotika
5. Tersangka tidak pernah dimasukkan dalam daftar pencarian orang (dpo)
6. Orang tua tersangka menyetujui agar terhadap tersangka dilakukan rehabilitasi dan apabila setelah selesai melaksanakan rehabilitasi, orang tuanya menyatakan sanggup dan siap membina tersangka kembali menjadi orang yang baik
7. Sudah ada hasil asessmen dari tim asessment bnnk kab. trenggalek dan tim dokter yang menyatakan dan kesimpulannya terhadap tersangka layak untuk direhabilitasi.

Keadilan restoratif bagi penyalahguna narkotika menjadi bukti bahwa negara dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap seluruh warga negaranya tak terkecuali bagi penyalahguna narkotika, yang perlu mendapatkan penanganan dan perawatan yang tepat dengan pemberian rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pembentukan Balai Rehabilitasi Adhyaksa merupakan bukti konkrit dan wujud nyata Kejaksaan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap penyalahguna narkotika melalui perspektif keadilan restoratif untuk mencari penyelesaian yang adil dan penanganan yang terbaik yaitu menyembuhkan dan memulihkan kembali penyalahguna narkotika pada keadaan semula sebagai seorang manusia yang sehat dan mampu menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya.

Setelah sambutan kemudian Kajati Jatim dengan di dampingi oleh Bupati Tulungagung secara simbolis menggunting untaian bunga sebagai tanda diresmikanya balai rehabilitasi Napza dan dilanjutkan dengan meninjau sarana dan prasarana Balai Napza tersebut.

Surabaya, 23 Nopember 2022

KEPALA SEKSI PENERANGAN HUKUM
KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR

FATHUR ROHMAN, SH. MH.

The post KAJATI JATIM RESMIKAN BALAI REHABILITASI NAPZA ADHYAKSA AYEM TENTREM TULUNGAGUNG appeared first on Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Sumber : Kejati Jatim

Related posts

KEJATI JATIM MENGHADIRI KUNJUNGAN KERJA KOMISI II DPR RI UNTUK MANTAPKAN PENGAWASAN PERSIAPAN PEMILU 2024 DI PROVINSI JATIM

Redaksi Jatim

PENYERAHAN TERSANGKA DAN BARANG BUKTI (TAHAP KE-2) ATAS NAMA TERSANGKA RADEN FERRY IRAWAN KUSUMA DALAM PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP KORBAN VENNA MELINDA

Redaksi Jatim

Kejaksaan Agung Masih Menjadi Lembaga yang Cukup Dipercaya oleh Masyarakat

Redaksi Jatim